SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) merupakan pusat pertanggungjawaban yang dipimpin oleh kepala satuan kerja dan bertanggung jawab atas entitasnya, misalnya: dinas kesehatan, dinas pendidikan, dinas pemuda dan olahraga dan lainnya
Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan pengunan angaran dengan kuantias dan kualitas yang terukur (Permendagri Nomor 13 Tahun 206 Pasal 1). Kinerja mengacu pada suatu hasil yang dicapai atas kerja atau kegiatan yang telah dilakukan. Dalam konteks pemerintahan, kinerja akan dinilai sebagai suatu prestasi manakala dalam melaksanakan suatu kegiatan dilakukan dengan mendasarkan pada peraturan yang berlaku, tidak melangar hukum dan sesuai dengan moral dan etika (Yusriati, 2008).
Kumorotomo (2005:103), mengungkapkan kinerja organisasi publik adalah hasil akhir (output) organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, transparan dalam pertanggungjawaban, efisien, sesuai dengan kehendak pengguna jasa organisasi, visi dan misi organisasi, berkualitas, adil, serta diselenggarakan dengan sarana dan prasarana yang memadai”
Dengan demikian, ukuran kinerja dalam angaran memberikan dorongan kepada para pelaksana angaran untuk dapat mencapai hasil yang maksimal sesuai ukuran kinerja yang ditetapkan. Kegagalan dalam pencapaian kinerja menjadi satu ukuran untuk melakukan perbaikan pada masa yang akan datang. Sementara keberhasilan atas kinerja membutuhkan suatu penghargan untuk dapat meningkatkan produktivitas serta untuk mendapatkan dukungan publik terhadap pemerintah.
Mahsun (2006:198), mengungkapkan bahwa: pengukuran kinerja pemerintah daerah diarahkan pada masing-masing satuan kerja yang telah diberi wewenang mengelola sumber daya sebagaimana bidangnya. Setiap satuan kerja adalah pusat pertanggungjawaban yang memiliki keunikan sendiri-sendiri. Dengan demikian perumuan indikator kinerja tidak bisa seragam untuk diterapkan pada semua Satun Kerja yang ada. Namun demikian, dengan pengukuran kinerja setiap satuan kerja ini harus tetap dimulai dari pengidentifiksian visi, misi, falsafah, kebijakan, tujuan, sasaran, program, anggaran serta tugas dan fungsi yang telah ditetapkan.
Definisi yang dirumuskan oleh beberapa penelitI mengenai pengukuran kinerja cukup beragam, namun tetap bermuara pada satu kesepakatan bahwa dengan mengukur kinerja maka proses pertangungjawaban pengelola atas segala kegiatanya kepada stakeholders dapat lebih obyektif. Hatry (1999) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai pengukuran hasil dan efisiensi jasa atau program berdasarkan basis regular (tetap, teratur).
Dalam konteks pengukuran kinerja untuk instansi pemerintah, Whitaker (1995) mendefinisikan sebagai suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabiltas dalam menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanan kegiatan (program) sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi pemerintah. Sejalan dengan itu, Smith (1996) menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja dapat membantu pengelola dalam memonitor implementasi strategi organisasi dengan cara membandingkan antara hasil (output) aktual dengan sasaran dan tujuan strategis. Dengan kata lain, pengukuran kinerja merupakan suatu metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Flyn (1997) manfat pengukuran dan manajemen kinerja terutama adalah untuk meningkatkan akuntabiltas dan untuk menyediakan jasa publik secara lebih baik. Pengertian akuntabiltas lebih luas dari proses untuk menunjukan bagaimana pengunan dana publik. Konsep akuntabiltas mencakup juga proses untuk menunjukan apakah dana publik telah digunakan secara efisien dan efektif. Pada dasarnya, akuntabiltas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi nformasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.
Wayne C. Parker (1996) menyebutkan lima manfat adanya pengukuran kinerja suatu entias pemerintahan, yaitu: (1) Pengukuran kinerja meningkatkan mutu pengambilan keputusan, (2) Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabiltas internal, (3) Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabiltas publik, (4) Pengukuran kinerja mendukung perencanan stategi dan penetapan tujuan, dan (5) Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entias untuk menentukan penggunaan sumber daya secara efektif.
Fokus pengukuran kinerja pada awalnya adalah pada pengukuran tingkat efisiensi. Hal tersebut berhubungan erat dengan obyek pembahasan pada awalnya yaitu pengukuran kinerja kegiatan usaha swasta. Ketika kesadaran para pengambil kebijakan muncul bahwa kegiatan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya juga dapat diukur efisiensi dan efektivitasnya, maka pembahasan yang intensif mengenai pengukuran kinerja pemerintah dimulai. Meskipun demikian, masalah muncul ketika disadari bahwa untuk pelayanan publik banyak sekali hal-hal yang bersifat kualitatif.
Mengukur kinerja kegiatan suatu organisasi dapat mencerminkan baik tidaknya pengelolan organisasi yang bersangkutan. Pengelola suatu organisasi perlu mengetahui apakah kegiatan pelayanan yang mereka berikan sudah memenuhi prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. Hal ini merupakan wujud pertangungjawaban pengelola kepada para stakeholders. Pengelola bertangung jawab tidak hanya sebatas pelayanan fisik, melainkan lebih dari itu, yaitu pada pengelolan usaha yang baik.
Selanjutnya, Mardiasmo (202) menyatakan bahwa kinerja mencerminkan ekonomis, efisiensi dan efektifnya suatu pelayanan publik. Pengertian ekonomis adalah perbandingan input dengan output value yang dinyatakan dalam satuan moneter. Ekonomis terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang digunakan yaitu dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak produktif. Pengertian efisiensi berhubungan erat dengan konsep produktivitas. Pengukuran efisiensi dilakukan dengan mengunakan perbandingan antara output yang dihasilkan terhadap input yang digunakan (cost of output). Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan pengunan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya. Pengertian efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan (hasil guna). Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional dapat dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan
sasaran akhir kebijakan.
Bastian (2006:267), “indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, dengan memperhitungkan indikator masukan (inputs) keluaran (outputs), hasil (outcomes), manfaat (benefits), dan dampak (impacts)”.
Lebih lanjut Bastian (2006:267) menjelaskan bahwa syarat-syarat indikator kinerja adalah sebagai berikut:
a. spesifikasi jelas, dan tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi,
b. dapat diukur secara objektif baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif dan relevan,
c. dapat dicapai, penting, dan harus berguna untuk menunjukkan keberhasilan masukan, proses keluaran, hasil, manfaat serta dampak,
d. harus cukup fleksibel dan sensitif terhadap perubahan/penyesuaian pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan efektif.
Whittaker (1993) dalam Bastian (2006: 274) mengungkapkan “pengukuran/penilaian kinerja adalah suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas”. Lain halnya menurut Bastian (2006: 276), “aspek yang diukur dalam pengukuran kinerja adalah aspek finansial, kepuasam pelanggan, operasi dan bisnis interal, kepuasan pegawai, kepuasan komunitas dan shareholders, serta waktu”. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka penyusunan anggaran dilakukan dengan mengintegrasikan program dan kegiatan masing-masing satuan kerja di lingkungan pemerintah daerah untuk mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian, akan tercipta sinergi dan rasionalitas yang tinggi dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas (Nordiawan, 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar