Sabtu, 02 Januari 2016

Komitmen Organisasi

Pada dasarnya komitmen karyawan (individu) akan mendorong terciptanya komitmen organisasi. Komitmen organisasi menyangkut tiga sikap, yaitu rasa mengidentifikasi dengan tujuan organisasi, rasa keterlibatan dengan tugas organisasi, dan rasa kesetiaan kepada organisasi. Komitmen organisasi merupakan tindakan sampai sejauh mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya serta berminat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi itu .

Komitmen organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya serta berniat untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi itu, Robbins (2003:92). 

Komitmen organisasi merupakan tingkat sampai sejauh mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi itu (Ikhsan dan Ishak, 2005: 35)

Menurut Arfan dan Ishak dalam Ristantini (2008:19) komitmen organisasi merupakan nilai personal yang mengacu pada sikap loyal atau komitmen terhadap perusahaan. Komitmen organisasi menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi (Mowday, et al, 1997)

Menurut Mathis dan Jackson (2001) dalam Kusmono (2007) komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada dalam organisasi tersebut. 

Menurut Wienser dalam Darlis (2002:90) komitmen organisasi adalah dorongan dari dalam individu untuk berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi. Komitmen menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai oleh organisasi. Komitmen organisasi bisa timbul disebabkan oleh individu memiliki ikatan emosional terhadap organisasi, yang meliputi dukungan moral, menerima nilai yang ada dalam organisasi, serta tekad dari dalam diri untuk mengabdi kepada organisasi.

Sedangkan Porter, et.al (1998) dalam Prasetyono (2008), berpendapat bahwa komitmen organisasi sebagai “relative strength of an individual’s identification with and involvement in a particular organization”

Menurut Griffin (2002: 15) komitmen organisasi adalah sikap yang mencerminkan sejauh mana seorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Seorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi. Sebaliknya, seorang individu yang memiliki komitmen rendah lebih cenderung untuk melihat dirinya sebagai orang luar untuk mengekspresikan ketidakpuasan yang lebih besar menyangkut kondisi kerja, dan tidak ingin melihat dirinya sendiri menjadi anggota jangka panjang dari organisasi. Komitmen organisasi dapat timbuh manakala harapan kerja dapat terpenuhi oleh organisasi dengan baik.

Menurut Wiener (1982) dalam Edfan Darlis (2001), komitmen organisasi adalah suatu dorongan dari dalam diri individu untuk berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi. Jika individu mengejar kepentingan pribadi (komitmen organisasi rendah), maka individu tersebut dalam partisipasi penganggaran akan berusaha melakukan slack anggaran agar kinerjanya terlihat baik

Mowday et. al.(1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai:the relative strength of individual’s identification with andinvolvement in a particular organization. Definisi tersebut menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiliki arti lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya. 



Menurut Sopiah (2008) komitmen organisasi dapat disimpulkan sebagai suatu ikatan psikologis karyawan pada organisasi yang ditandai dengan adanya:
a. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai- nilai organisasi.
Didalam suatu organisasi karyawan mempunyai sikap percaya terhadap organisasinya tersebut. Percaya dan menerima atas tugas- tugas yang diberikan oleh organisasi kepadanya sehingga karyawan tersebut menyesesaikan tugasnya dengan baik sesuai dengan tujuan- tujuan dan nilai- nilai organisasi.
b. Kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi
Karyawan berusaha memberikan hasil kerja yang baik dengan cara mempunyai sikap berkemauan keras dan berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya.
c. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota organisasi.
Sebagai anggota organisasi karyawan memiliki keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukannya di suatu organisasi dengan cara mengerjakan pekerjaannya berdasarkan kedudukan yang mereka dapat pada saat itu. Menurut Meyer dan Allens dalam Sopiah (2008; 157), terdapat 3 komponen model dari komitmen organisasional:
a. Affective commitment
Pengertian affective commitment difokuskan pada penggabungan emosional yang positif sebagai suatu bagian dimana karyawan secara psikologis terikat dengan organisasi berdasarkan pada seberapa nyaman perasannya dalam organisasi tersebut. Affective commitment merupakan proses perilaku dimana orang berfikir mengenai hubungan dengan organisasi dalam hal kesesuaian nilai dan tujuan. Derajat dimana tujuan dan nilai- nilai individual akan secara langsung mempengaruhi keinginan individu untuk tetap bertahan dalam organisasi.
b. Continuance commitment.
Pengertian continuance commitment didasrakan pada ketertarikan dalam hubungan dengan anggota- anggota dalam organisasi, sebagai bagian dimana karyawan secara psikologis terikat dengan organisasi berdasarkan biaya yang dikeluarkan ( ekonomi, sosial dan hubungan status) jika ia meninggalkan organisasi. Biaya yang dimaksud dimanifestasikan dalam dua hal yang berbeda. Pertama, masa kerja individu dalam organisasi yang mereka rasakan akan menumbuhkan loyalitas terutama dengan andanya program pension, senioritas, spesialisasi skill,afiliasi, dan ikatan keluarga yang akan merugikan mereka jika berpindah organisasi. Kedua, individu bisa merasakan mereka berfikir untuk tetap tinggal dalam organisasi karena tidak punya alternative pekerjaan yang menjanjikan.
c. Normative commitment.
Yaitu adanya keinginan karyawan untuk tetap bersama organisasi berdasarkan kewajiban atas tugas (sense of duty) yang diberikan kepadanya. Hal ini bisa berasal dari budaya individual, etika kerja yang menyebabkan mereka merasa wajib untuk tetap bertahan dalam organisasi. Dengan demikian rasa kesetiaan atas tugas yang mendasari komitmen normatif karyawan dipengaruhi individu untuk tetap tinggal dalam organisasi.

Partisipasi Anggaran

Anggaran dapat diiterprestasikan sebagai paket pernyataan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang (Indra 2006). Menurut Freeman (2003) dalam Dedi (2008), anggaran adalah sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimiliki pada kebutuhan- kebutuhan yang tidak terbatas ( the process of allocating resources to unlimited demans). Menurut Garrison & Noreen (2000) anggaran adalah rencana rinci tentang perolehan dan penggunaan sumber daya keuangan dan sumber daya lainnya untuk suatu periode tertentu. Anggaran juga merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metoda untuk mempersiapkan suatu anggaran (Mardiasmo, 2002; 61). Pengertian tersebut mengungkapkan peran strategis anggaran dalam pengelolaan kekayaan sebuah organisasi publik.

Menurut Mulyadi (2001;513) partisipasi dalam penyusunan anggaran berarti keikutsertaan operating manajer dalam merumuskan besama dengan komite anggaran mengenai rangkaian kegiatan dimasa yang akan datang yang akan ditempuh oleh operating nanager ysb dalam pencapaian sasaran anggaran. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa partisipasi anggaran sebagai suatu proses dalam organisasi yang melibatkan para manajer dalam penentuan tujuan anggaran yang menjadi tanggungjawabnya atau penyusunan anggaran yang memungkinkan bawahan untuk bekerja sama menentukan rencana. 

Partsisipasi suatu tingkat manajer atau manajer publik mulai dari prosespenyusunan anggaran akan membawa pengaruh positif dalam npencapaian tujuan suatu perusahaan atau pemerintahaan. Menurut Mulyadi (2001) tingkat partisipasi operating manager dalam penyusunan anggaran akan mendorong moral kerja yang tinggi dan inisiatif para manajer. Moral kerja yang tinggi merupakan kepuasaan seseorang terhadap pekerjaan, atasan dan rekan sekerjanya. Moral kerja ditentukan oleh seberapa besar seseorang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi. Dalam proses penyusunan anggaran, anggaran pemerintah memiliki sebuah siklus seperti berikut ini Deddi (2007):
1) Penyusunan Rencana Anggaran
Tahap penyusunan anggaran adalah tahapan pertama dari proses penganggaran. Pada tahapan ini biasanya rencana anggaran disusun oleh pihak eksekutif yang nantinya akan melaksanakan anggaran tersebut. Anggaran yang disusun dalam tahapan ini dimaksudkan untuk dilaksanakan dalam periode anggaran berikutnya. Oleh sebab itu, jadwal waktu yang disediakan untuk penyusunan anggaran harus dibuat sedemikian rupa sehingga anggaran diperkirakan akan siap dilaksanakan sebelum periode anggaran berikutnya dimulai.
2) Persetujuan Legislatif
Anggaran diajukan kelembaga legislatif untuk mendapatkan persetujuan. Dalam hal ini lembaga legislatif (terutama komite anggaran) akan mengadakan pembahasan guna memperoleh pertimbangan- pertimbangan untuk menyetujui atau menolak anggara tersebut. Selain itu, akan diadakan juga dengar pendapat sebelum nantinya lembaga leislatif menyetujui atau menolaknya.
3) Pelaksanaan Anggaran
Pada tahapan ini, anggaran yang telah disetujui pada tahapan sebelumnya mulai dilaksanakan oleh pihak eksekutif organisasi atau pelaksana anggaran lainnya. Dalam melaksanakan anggaran diperlukan juga sikap kehati- hatian agar organisasi tidak begitu saja dilaksanakan seluruh anggaran belanja kegiatan pada awal- awal tahun anggaran meskipun hal tersebut telah disetujui sebelumnya. Dengan kata lain organisasi harus memperhatikan arus keluar dan masuknya sumber daya dalam pelaksanaan anggaran apabila tidak ingin menghadapi kesulitan pemenuhan kewajiban untuk membiayai kegiatannya.
4) Pelaporan dan Audit
Pada tahap ini, realisasi anggaran akan dilaporkan dan diperbandingkan secara periodik dengan anggaran yang telah disetujui sebelumnya. Adanya perbedaan antara anggaran dan realisasinya harus dijelaskan penyebebnya. Laporan tersebut kemudian diaudit untuk memastikan bahwa laporan telah dibuat secara benar. Laporan anggaran dan hasil audit atas laporan tersebut merupakan bahan informasi dalam penyusunan anggaran untuk periode anggaran berikutnya. Oleh sebab itu, rangkaian proses penganggaran yang dimulai sejak tahap penyusunan hingga pelaporan dan audit anggaran pada akhirnya akan membentuk suatu siklus anggaran.

Kinerja Aparat Pemerintah Daerah

Kinerja jika dilihat dari bahas latinnya adalah performance yang berarti prestasi. Jadi kinerja merupakan prestasi kerja seorang pegawai. Untuk lebih mendalami apa yang dimaksud dengan kinerja, berikut peneliti kutip beberapa pendapat ahli. Indra (2001) mengukapkan, kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksana suatu kegiatan/program/ kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategi (strategic planning) suatu organisasi.

Menurut PP Nomor 58 Tahun 2005, kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Menurut Pabundu (2006) dalam Yulia (2008) mendefinisikan kinerja sebagai hasil-hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu. Dalam sektor publik, khususnya sektor pemerintahan, kinerja dapat diartikan sebagai suatu prestasi yang dicapai oleh pegawai pemerintah dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat dalam suatu periode. SKPD (satuan kerja perangkat daerah) merupakan pusat pertanggungjawaban yang dipimpin oleh seorang kepala satuan kerja dan bertanggung jawab atas entitasnya, misalnya : dinas kesehatan, dinas kependudukan dan catatan sipil, dinas pendididkan, dinas pemuda dan olah raga dan lainnya. Kinerja suatu unit kerja pemerintah daerah dapat diukur melaui pencapaian aktivitas- aktivitas yang dibiayai oleh APBD (Masdiasmo, 2006; 74). Untuk dapat memenuhi tuntunan akan akuntabilitas publik diperlukan adanya paragdigma baru dalam manajemen keuangan daerah (1) APBD harus berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan publik; (2) APBD merupakan dana publik yang penggunaannya harus berorientasi pada kinerja yang baik (ekonomis, efisien dan efektif); (3) penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawab an daerah harus dilakukan berdasarkan prinsip transparansi dengan memberikan akses yang seluas- luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan APBD ( Mardiasmo, 2006; 28) Kualitas proses pengukuran kinerja sangat dipengaruhi oleh kualitas proses penganggaran, karena pengukuran kinerja merupakan mata rantai yang berkesinambungan dengan proses penganggaran. Pusat pertanggungjawaban merupakan bagian yang paling kompeten dalam menyiapkan anggaran, sekaligus merupakan basis pengukuran kinerja. Pusat pertanggungjawaban tersebut menjadi dasar untuk perencanaan dan pengendalian anggaran serta penilaian kinerja pada unit yang bersangkutan Mardiasmo (2002).

Perencanaan adalah proses penentuan program- program yang akan dilaksanakan dan target yang akan dicapai oleh pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut. Sedangkan pengendalian anggaran meliputi pengukuran terhadap output dan belanja yang riil dilakukan dibandingkan dengan anggaran. Adanya perbedaan antara hasil yang dicapai dengan yang dianggarkan kemudian dianalisis untuk diketahui penyebabnya dan dicari siapa yang bertanggungjawab atas terjadinya penyimpangan tersebut, sehingga dapat segera dilakukan tindakan korektif. Kinerja (prestasi) manajer publik dinilai berdasarkan berapa target yang berhasil ia capai dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan yang dapat diukur melalui pencapaian aktivitas- aktivitas yang dibiayai oleh APBD (Mardiasmo, 2006; 74). Pengungkapan kinerja pemerintah daerah secara tepat dan objektif akan memungkinkan terlaksananya evaluasi kinerja, baik secara internal maupun eksternal. Evaluasi semacam ini pada tahap selanjutnya akan menumbulkan perbaikan atau peningkatan kinerja yang berkelanjutan. Dengan demikian, pengungkapan kinerja akan mendorong Pemerintah Daerah untuk lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat dan menuntun perbaikan dalam memberikan pelayanan masyarakat.

TEORI KEAGENAN

Teori keagenan (agency theory) awalnya dikemukakan oleh Berle dan Means (1932) yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976) yaitu adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (principal) dengan pihak yang menerima wewenang (agent) dalam bentuk kontrak kerja (nexus of contract) yang telah disepakati (Pagalung, 2008). 

Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). 

Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memilki dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain. Pengaruh atau ketergantungan ini diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur instiusional pada berbagai tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak. Menurut Lane (2000) teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen (Lane, 2000: 12-13).

Dalam hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif adalah agen dan legislatif adalah prinsipal (Halim, 202). Seperti dikemukakan sebelumnya, diantara prinsipal dan agen senantiasa terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan.

Lebih lanjut Pagalung (2008) dalam Ardiyanti memaparkan bahwa hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif (pemerintah) adalah agent dan legislatif (para wakil rakyat yang duduk di parlemen) adalah principal. Sebelum penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang arah dan kebijakan umum serta prioritas anggaran, yang akan menjadi pedoman dalam penyusunan APBD. Eksekutif membuat rancangan APBD yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (perda). Dalam perspektif keagenan hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract) yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.

Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif. Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintahan daerah dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang baik tentang birokrasi dan administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena pihak eksekutif (agent) memiliki informasi keuangan daripada pihak principal (keunggulan informasi) sedangkan dari pihak principal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (selft-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power).

Masalah keagenan yang timbul di kalangan eksekutif adalah cenderung memaksimalkan utility (selft-interest) dalam pembuatan atau penyusunan anggaran APBD karena memiliki keunggulan informasi (asimetri informasi). Akibatnya eksekutif cenderung melakukan “budgetary slack”. Hal ini terjadi dikarenakan pihak eksekutif akan mengamankan posisinya dalam pemerintahan di mata legislatif dan masyarakat (rakyat), bahkan boleh jadi untuk kepentingan pilkada berikutnya.
Masalah keagenan yang timbul dikalangan legislatif (anggota dewan) terjadi dari dua tinjauan perspektif, sebagai principal atas eksekutif dan sebagai agent dengan rakyat (pemilih). Masalah keagenan yang timbul dalam perspektif principal akan cenderung melakukan “kontrak semu” dengan pihak eksekutif karena memiliki discretionary power.
  Dalam proses penyusunan anggaran, pihak legislatif cenderung melakukan “titipan” proyek/kegiatan, hal ini terjadi untuk kepentingan pribadi secara jangka panjang demi menjaga kesinambungan dan mengharumkan nama politis (anggota dewan) karena anggaran yang diperjuangkan adalah cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat. Akibatnya pembangunan cenderung di daerah wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif.
Dalam perspektif anggota legislatif sebagai agent, dan rakyat sebagai principal, dimana sebelum pilkada pihak eksekutif aktif melakukn pendekatan kepada masyarakat untuk membangun citra diri yang baik agar menang dalam pemilu legislatif. Pihak legislatif melakukan berbagai macam pendekatan baik itu persuasif, pendekatan formal konvensional, kampanye secara langsung dengan penuh keyakinan akan membela kepentingan masyarakat dan senantiasa  mengemban amanah rakyat dengan tujuan untuk memperoleh suara dari masyarakat sebagai principal, namun apa yang terjadi setelah terpilih sebagai wakil rakyat dan duduk di lembaga legislatif mereka tidak lagi mementingkan kepentingan principal karena pendelegasian kewenangan rakyat terhadap legislatornya tidak memiliki kejelasan aturan konsekuensi control keputusan yang disebut “abdication”. Akibatnya legislator cenderung menyusun anggaran untuk kepentingan pribadi atau golongannya dan kondisi ini (political corruption) dan sekiranya anggaran tersebut dilaksanakan akan menimbulkan administration corruption.
Apabila kondisi diatas terjadi, maka proses penyusunan anggaran yang semestinya akan menghasilkan outcome yang efisien dan efektif dari alokasi sumber daya dalam anggaran akan terdistorsi karena adanya perilaku opportunistik untuk kepentingan pribadi dari politisi (Halim dan Syukriy, 2009).

Johnson (194: 5) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilh kembali, birokrat ingin memaksimumkan angaranya, dan konstiuen ingin memaksimumkan utiltasnya. Agar terpilh kembali, legislators mencari program dan projects yang membuatnya populer di mata konstiuen. Birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstiuen percaya bahwa mereka menerima benefits dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya secara penuh.

Dalam hal pembuatan kebijakan, Von Hagen (202) berpendapat bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilh dan legislatif pada dasarnya menunjukan bagaimana voters memilh politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam angaran, maka mereka diharapkan mewakil kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilhnya. Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubunganya dengan publik menunjukan bahwa legislatif memilki masalah keagenan karena akan berusaha untuk memaksimalkan utiltasnya (self-interest) dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika publik tidak memilki sarana atau instiusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehinga perilaku moral hazard legislatif dapat erjadi dengan mudah.
Menurut Hagen (205), politsi yang terpilh bisa saja berlaku oportunistik dan karenanya voters berkeinginan menghilangkan peluang untuk mendapat rents dengan membuat politsi terikat pada suatu aturan yang menentukan apa yang dapat atau harus mereka lakukan pada kondisi tertentu. Akan tetapi, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas (unforesen development) dan kompleskitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna tidak mungkin dibuat. Politisi juga tidak akan dapat memenuhi semua janji yang dibuatnya selama kampanye pemilhan. Oleh karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang lain, hubungan keagenan antara pemilh (voters) dengan politsi dapat dipandang sebagai incomplete contract.
Dalam hal hubungan keagenan dalam penyusunan Angaran Daerah, Angaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanan pelayanan publik. Di Indonesia dokumen angaran daerah disebut angaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan angaran pasca UU 2/199 (dan UU 32/204) melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau panita angaran.
Sebelum penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang arah dan kebijakan umum (AKU) dan prioritas angaran, yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan angaran pendapatan dan angaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan AKU dan prioritas angaran, yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanan angaran oleh eksekutif. Proses penyusunan angaran (APBD) diawali dari rencana pelayanan yang akan diberikan oleh pemerintah daerah. Pemilhan pelayanan (dalam bentuk kegiatan) direncanakan secara bersama-sama dengan inisiatif terbesar ada di pihak eksekutif. Eksekutif kemudian mengalokasikan angaran untuk setiap kegiatan, program, dan prioritas angaran. Rangkuman usulan kegiatan dan angaranya ini kemudian disamapaikan kepada legislatif untuk dibahas terlebih dahulu sebelum disahkan menjadi peraturan daerah (Perda).
Realisasi perilaku oportunistik eksekutif dalam pengusulan belanja ini diantaranya adalah: 
1. Mengusulkan kegiatan yang sesunguhnya tidak menjadi prioritas.
2. Mengusulkan kegiatan yang memilki lucrative oportunites (peluang untuk
mendapatkan keuntungan pribadi) yang besar.
3. Mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting dalam suatu kegiatan. 
4. Mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk komponen belanja dan angaran setiap kegiatan.
5. Memperbesar angaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya.

Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi pada dua posisi, yakni sebagai prinsipal dan juga sebagai agen. Sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat merealisasikan kepentinganya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun instiusional. Melalui discretionary power yang dimilkinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif. 

TEORI KONTIJENSI

Teori kontijensi menyatakan bahwa tidak ada rancangan dan penggunaan sistem pengendalian manajemen yang dapat diterapkan secara efektif untuk semua kondisi organisasi, namun sebuah sistem pengendalian tertentu hanya efektif untuk situasi atau organisasi atau perusahaan tertentu. Kesesuaian antara sistem pengendalian manajemen dan variabel konstektual organisasi dihipotesiskan untuk menyimpulkan peningkatan kinerja organisasi dan individu yang terlibat didalamnya (Otley 1980; Fisher 1998 dalam Adrianto, 2008).

Fisher (1995) dalam Ratri (2010) berpendapat bahwa pendekatan kontijensi ini mengungkapkan bahwa perencanaan dan penggunaan desain sistem pengendalian manajemen tergantung pada karakteristik organisasi dan kondisi lingkungan di mana sistem tersebut ditetapkan. Penelitian-penelitian yang menguji hubungan antara partisipasi penyusunan anggaran dengan kinerja aparat pemerintah daerah memberikan hasil yang tidak konsisten. Untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut, Govindarajan (1986) dalam (Azhar L et al., 2009) mengemukakan bahwa diperlukan suatu pendekatan kontinjensi (contingency approach). Pendekatan ini memberikan suatu gagasan bahwa sifat hubungan yang ada dalam partisipasi penyusunan anggaran dengan kinerja aparat pemda mungkin berbeda dari satu situasi dengan situasi lain.

Peneltian ini menggunakan faktor kontijensi untuk mengevaluasi keefektifan partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja aparatur pemerintah daerah. Faktor kontijensi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi. Faktor-faktor tersebut akan bertindak sebagai variabel modereting dalam hubungannya dengan partisipasi penyusunan anggaran dan kinerja aparatur pemerintah daerah.