Sabtu, 02 Januari 2016

Komitmen Organisasi

Pada dasarnya komitmen karyawan (individu) akan mendorong terciptanya komitmen organisasi. Komitmen organisasi menyangkut tiga sikap, yaitu rasa mengidentifikasi dengan tujuan organisasi, rasa keterlibatan dengan tugas organisasi, dan rasa kesetiaan kepada organisasi. Komitmen organisasi merupakan tindakan sampai sejauh mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya serta berminat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi itu .

Komitmen organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya serta berniat untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi itu, Robbins (2003:92). 

Komitmen organisasi merupakan tingkat sampai sejauh mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi itu (Ikhsan dan Ishak, 2005: 35)

Menurut Arfan dan Ishak dalam Ristantini (2008:19) komitmen organisasi merupakan nilai personal yang mengacu pada sikap loyal atau komitmen terhadap perusahaan. Komitmen organisasi menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi (Mowday, et al, 1997)

Menurut Mathis dan Jackson (2001) dalam Kusmono (2007) komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada dalam organisasi tersebut. 

Menurut Wienser dalam Darlis (2002:90) komitmen organisasi adalah dorongan dari dalam individu untuk berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi. Komitmen menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai oleh organisasi. Komitmen organisasi bisa timbul disebabkan oleh individu memiliki ikatan emosional terhadap organisasi, yang meliputi dukungan moral, menerima nilai yang ada dalam organisasi, serta tekad dari dalam diri untuk mengabdi kepada organisasi.

Sedangkan Porter, et.al (1998) dalam Prasetyono (2008), berpendapat bahwa komitmen organisasi sebagai “relative strength of an individual’s identification with and involvement in a particular organization”

Menurut Griffin (2002: 15) komitmen organisasi adalah sikap yang mencerminkan sejauh mana seorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Seorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi. Sebaliknya, seorang individu yang memiliki komitmen rendah lebih cenderung untuk melihat dirinya sebagai orang luar untuk mengekspresikan ketidakpuasan yang lebih besar menyangkut kondisi kerja, dan tidak ingin melihat dirinya sendiri menjadi anggota jangka panjang dari organisasi. Komitmen organisasi dapat timbuh manakala harapan kerja dapat terpenuhi oleh organisasi dengan baik.

Menurut Wiener (1982) dalam Edfan Darlis (2001), komitmen organisasi adalah suatu dorongan dari dalam diri individu untuk berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi. Jika individu mengejar kepentingan pribadi (komitmen organisasi rendah), maka individu tersebut dalam partisipasi penganggaran akan berusaha melakukan slack anggaran agar kinerjanya terlihat baik

Mowday et. al.(1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai:the relative strength of individual’s identification with andinvolvement in a particular organization. Definisi tersebut menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiliki arti lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya. 



Menurut Sopiah (2008) komitmen organisasi dapat disimpulkan sebagai suatu ikatan psikologis karyawan pada organisasi yang ditandai dengan adanya:
a. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai- nilai organisasi.
Didalam suatu organisasi karyawan mempunyai sikap percaya terhadap organisasinya tersebut. Percaya dan menerima atas tugas- tugas yang diberikan oleh organisasi kepadanya sehingga karyawan tersebut menyesesaikan tugasnya dengan baik sesuai dengan tujuan- tujuan dan nilai- nilai organisasi.
b. Kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi
Karyawan berusaha memberikan hasil kerja yang baik dengan cara mempunyai sikap berkemauan keras dan berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya.
c. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota organisasi.
Sebagai anggota organisasi karyawan memiliki keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukannya di suatu organisasi dengan cara mengerjakan pekerjaannya berdasarkan kedudukan yang mereka dapat pada saat itu. Menurut Meyer dan Allens dalam Sopiah (2008; 157), terdapat 3 komponen model dari komitmen organisasional:
a. Affective commitment
Pengertian affective commitment difokuskan pada penggabungan emosional yang positif sebagai suatu bagian dimana karyawan secara psikologis terikat dengan organisasi berdasarkan pada seberapa nyaman perasannya dalam organisasi tersebut. Affective commitment merupakan proses perilaku dimana orang berfikir mengenai hubungan dengan organisasi dalam hal kesesuaian nilai dan tujuan. Derajat dimana tujuan dan nilai- nilai individual akan secara langsung mempengaruhi keinginan individu untuk tetap bertahan dalam organisasi.
b. Continuance commitment.
Pengertian continuance commitment didasrakan pada ketertarikan dalam hubungan dengan anggota- anggota dalam organisasi, sebagai bagian dimana karyawan secara psikologis terikat dengan organisasi berdasarkan biaya yang dikeluarkan ( ekonomi, sosial dan hubungan status) jika ia meninggalkan organisasi. Biaya yang dimaksud dimanifestasikan dalam dua hal yang berbeda. Pertama, masa kerja individu dalam organisasi yang mereka rasakan akan menumbuhkan loyalitas terutama dengan andanya program pension, senioritas, spesialisasi skill,afiliasi, dan ikatan keluarga yang akan merugikan mereka jika berpindah organisasi. Kedua, individu bisa merasakan mereka berfikir untuk tetap tinggal dalam organisasi karena tidak punya alternative pekerjaan yang menjanjikan.
c. Normative commitment.
Yaitu adanya keinginan karyawan untuk tetap bersama organisasi berdasarkan kewajiban atas tugas (sense of duty) yang diberikan kepadanya. Hal ini bisa berasal dari budaya individual, etika kerja yang menyebabkan mereka merasa wajib untuk tetap bertahan dalam organisasi. Dengan demikian rasa kesetiaan atas tugas yang mendasari komitmen normatif karyawan dipengaruhi individu untuk tetap tinggal dalam organisasi.

Partisipasi Anggaran

Anggaran dapat diiterprestasikan sebagai paket pernyataan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang (Indra 2006). Menurut Freeman (2003) dalam Dedi (2008), anggaran adalah sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimiliki pada kebutuhan- kebutuhan yang tidak terbatas ( the process of allocating resources to unlimited demans). Menurut Garrison & Noreen (2000) anggaran adalah rencana rinci tentang perolehan dan penggunaan sumber daya keuangan dan sumber daya lainnya untuk suatu periode tertentu. Anggaran juga merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metoda untuk mempersiapkan suatu anggaran (Mardiasmo, 2002; 61). Pengertian tersebut mengungkapkan peran strategis anggaran dalam pengelolaan kekayaan sebuah organisasi publik.

Menurut Mulyadi (2001;513) partisipasi dalam penyusunan anggaran berarti keikutsertaan operating manajer dalam merumuskan besama dengan komite anggaran mengenai rangkaian kegiatan dimasa yang akan datang yang akan ditempuh oleh operating nanager ysb dalam pencapaian sasaran anggaran. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa partisipasi anggaran sebagai suatu proses dalam organisasi yang melibatkan para manajer dalam penentuan tujuan anggaran yang menjadi tanggungjawabnya atau penyusunan anggaran yang memungkinkan bawahan untuk bekerja sama menentukan rencana. 

Partsisipasi suatu tingkat manajer atau manajer publik mulai dari prosespenyusunan anggaran akan membawa pengaruh positif dalam npencapaian tujuan suatu perusahaan atau pemerintahaan. Menurut Mulyadi (2001) tingkat partisipasi operating manager dalam penyusunan anggaran akan mendorong moral kerja yang tinggi dan inisiatif para manajer. Moral kerja yang tinggi merupakan kepuasaan seseorang terhadap pekerjaan, atasan dan rekan sekerjanya. Moral kerja ditentukan oleh seberapa besar seseorang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi. Dalam proses penyusunan anggaran, anggaran pemerintah memiliki sebuah siklus seperti berikut ini Deddi (2007):
1) Penyusunan Rencana Anggaran
Tahap penyusunan anggaran adalah tahapan pertama dari proses penganggaran. Pada tahapan ini biasanya rencana anggaran disusun oleh pihak eksekutif yang nantinya akan melaksanakan anggaran tersebut. Anggaran yang disusun dalam tahapan ini dimaksudkan untuk dilaksanakan dalam periode anggaran berikutnya. Oleh sebab itu, jadwal waktu yang disediakan untuk penyusunan anggaran harus dibuat sedemikian rupa sehingga anggaran diperkirakan akan siap dilaksanakan sebelum periode anggaran berikutnya dimulai.
2) Persetujuan Legislatif
Anggaran diajukan kelembaga legislatif untuk mendapatkan persetujuan. Dalam hal ini lembaga legislatif (terutama komite anggaran) akan mengadakan pembahasan guna memperoleh pertimbangan- pertimbangan untuk menyetujui atau menolak anggara tersebut. Selain itu, akan diadakan juga dengar pendapat sebelum nantinya lembaga leislatif menyetujui atau menolaknya.
3) Pelaksanaan Anggaran
Pada tahapan ini, anggaran yang telah disetujui pada tahapan sebelumnya mulai dilaksanakan oleh pihak eksekutif organisasi atau pelaksana anggaran lainnya. Dalam melaksanakan anggaran diperlukan juga sikap kehati- hatian agar organisasi tidak begitu saja dilaksanakan seluruh anggaran belanja kegiatan pada awal- awal tahun anggaran meskipun hal tersebut telah disetujui sebelumnya. Dengan kata lain organisasi harus memperhatikan arus keluar dan masuknya sumber daya dalam pelaksanaan anggaran apabila tidak ingin menghadapi kesulitan pemenuhan kewajiban untuk membiayai kegiatannya.
4) Pelaporan dan Audit
Pada tahap ini, realisasi anggaran akan dilaporkan dan diperbandingkan secara periodik dengan anggaran yang telah disetujui sebelumnya. Adanya perbedaan antara anggaran dan realisasinya harus dijelaskan penyebebnya. Laporan tersebut kemudian diaudit untuk memastikan bahwa laporan telah dibuat secara benar. Laporan anggaran dan hasil audit atas laporan tersebut merupakan bahan informasi dalam penyusunan anggaran untuk periode anggaran berikutnya. Oleh sebab itu, rangkaian proses penganggaran yang dimulai sejak tahap penyusunan hingga pelaporan dan audit anggaran pada akhirnya akan membentuk suatu siklus anggaran.

Kinerja Aparat Pemerintah Daerah

Kinerja jika dilihat dari bahas latinnya adalah performance yang berarti prestasi. Jadi kinerja merupakan prestasi kerja seorang pegawai. Untuk lebih mendalami apa yang dimaksud dengan kinerja, berikut peneliti kutip beberapa pendapat ahli. Indra (2001) mengukapkan, kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksana suatu kegiatan/program/ kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategi (strategic planning) suatu organisasi.

Menurut PP Nomor 58 Tahun 2005, kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Menurut Pabundu (2006) dalam Yulia (2008) mendefinisikan kinerja sebagai hasil-hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu. Dalam sektor publik, khususnya sektor pemerintahan, kinerja dapat diartikan sebagai suatu prestasi yang dicapai oleh pegawai pemerintah dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat dalam suatu periode. SKPD (satuan kerja perangkat daerah) merupakan pusat pertanggungjawaban yang dipimpin oleh seorang kepala satuan kerja dan bertanggung jawab atas entitasnya, misalnya : dinas kesehatan, dinas kependudukan dan catatan sipil, dinas pendididkan, dinas pemuda dan olah raga dan lainnya. Kinerja suatu unit kerja pemerintah daerah dapat diukur melaui pencapaian aktivitas- aktivitas yang dibiayai oleh APBD (Masdiasmo, 2006; 74). Untuk dapat memenuhi tuntunan akan akuntabilitas publik diperlukan adanya paragdigma baru dalam manajemen keuangan daerah (1) APBD harus berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan publik; (2) APBD merupakan dana publik yang penggunaannya harus berorientasi pada kinerja yang baik (ekonomis, efisien dan efektif); (3) penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawab an daerah harus dilakukan berdasarkan prinsip transparansi dengan memberikan akses yang seluas- luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan APBD ( Mardiasmo, 2006; 28) Kualitas proses pengukuran kinerja sangat dipengaruhi oleh kualitas proses penganggaran, karena pengukuran kinerja merupakan mata rantai yang berkesinambungan dengan proses penganggaran. Pusat pertanggungjawaban merupakan bagian yang paling kompeten dalam menyiapkan anggaran, sekaligus merupakan basis pengukuran kinerja. Pusat pertanggungjawaban tersebut menjadi dasar untuk perencanaan dan pengendalian anggaran serta penilaian kinerja pada unit yang bersangkutan Mardiasmo (2002).

Perencanaan adalah proses penentuan program- program yang akan dilaksanakan dan target yang akan dicapai oleh pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut. Sedangkan pengendalian anggaran meliputi pengukuran terhadap output dan belanja yang riil dilakukan dibandingkan dengan anggaran. Adanya perbedaan antara hasil yang dicapai dengan yang dianggarkan kemudian dianalisis untuk diketahui penyebabnya dan dicari siapa yang bertanggungjawab atas terjadinya penyimpangan tersebut, sehingga dapat segera dilakukan tindakan korektif. Kinerja (prestasi) manajer publik dinilai berdasarkan berapa target yang berhasil ia capai dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan yang dapat diukur melalui pencapaian aktivitas- aktivitas yang dibiayai oleh APBD (Mardiasmo, 2006; 74). Pengungkapan kinerja pemerintah daerah secara tepat dan objektif akan memungkinkan terlaksananya evaluasi kinerja, baik secara internal maupun eksternal. Evaluasi semacam ini pada tahap selanjutnya akan menumbulkan perbaikan atau peningkatan kinerja yang berkelanjutan. Dengan demikian, pengungkapan kinerja akan mendorong Pemerintah Daerah untuk lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat dan menuntun perbaikan dalam memberikan pelayanan masyarakat.

TEORI KEAGENAN

Teori keagenan (agency theory) awalnya dikemukakan oleh Berle dan Means (1932) yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976) yaitu adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (principal) dengan pihak yang menerima wewenang (agent) dalam bentuk kontrak kerja (nexus of contract) yang telah disepakati (Pagalung, 2008). 

Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). 

Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memilki dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain. Pengaruh atau ketergantungan ini diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur instiusional pada berbagai tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak. Menurut Lane (2000) teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen (Lane, 2000: 12-13).

Dalam hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif adalah agen dan legislatif adalah prinsipal (Halim, 202). Seperti dikemukakan sebelumnya, diantara prinsipal dan agen senantiasa terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan.

Lebih lanjut Pagalung (2008) dalam Ardiyanti memaparkan bahwa hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif (pemerintah) adalah agent dan legislatif (para wakil rakyat yang duduk di parlemen) adalah principal. Sebelum penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang arah dan kebijakan umum serta prioritas anggaran, yang akan menjadi pedoman dalam penyusunan APBD. Eksekutif membuat rancangan APBD yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (perda). Dalam perspektif keagenan hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract) yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.

Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif. Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintahan daerah dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang baik tentang birokrasi dan administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena pihak eksekutif (agent) memiliki informasi keuangan daripada pihak principal (keunggulan informasi) sedangkan dari pihak principal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (selft-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power).

Masalah keagenan yang timbul di kalangan eksekutif adalah cenderung memaksimalkan utility (selft-interest) dalam pembuatan atau penyusunan anggaran APBD karena memiliki keunggulan informasi (asimetri informasi). Akibatnya eksekutif cenderung melakukan “budgetary slack”. Hal ini terjadi dikarenakan pihak eksekutif akan mengamankan posisinya dalam pemerintahan di mata legislatif dan masyarakat (rakyat), bahkan boleh jadi untuk kepentingan pilkada berikutnya.
Masalah keagenan yang timbul dikalangan legislatif (anggota dewan) terjadi dari dua tinjauan perspektif, sebagai principal atas eksekutif dan sebagai agent dengan rakyat (pemilih). Masalah keagenan yang timbul dalam perspektif principal akan cenderung melakukan “kontrak semu” dengan pihak eksekutif karena memiliki discretionary power.
  Dalam proses penyusunan anggaran, pihak legislatif cenderung melakukan “titipan” proyek/kegiatan, hal ini terjadi untuk kepentingan pribadi secara jangka panjang demi menjaga kesinambungan dan mengharumkan nama politis (anggota dewan) karena anggaran yang diperjuangkan adalah cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat. Akibatnya pembangunan cenderung di daerah wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif.
Dalam perspektif anggota legislatif sebagai agent, dan rakyat sebagai principal, dimana sebelum pilkada pihak eksekutif aktif melakukn pendekatan kepada masyarakat untuk membangun citra diri yang baik agar menang dalam pemilu legislatif. Pihak legislatif melakukan berbagai macam pendekatan baik itu persuasif, pendekatan formal konvensional, kampanye secara langsung dengan penuh keyakinan akan membela kepentingan masyarakat dan senantiasa  mengemban amanah rakyat dengan tujuan untuk memperoleh suara dari masyarakat sebagai principal, namun apa yang terjadi setelah terpilih sebagai wakil rakyat dan duduk di lembaga legislatif mereka tidak lagi mementingkan kepentingan principal karena pendelegasian kewenangan rakyat terhadap legislatornya tidak memiliki kejelasan aturan konsekuensi control keputusan yang disebut “abdication”. Akibatnya legislator cenderung menyusun anggaran untuk kepentingan pribadi atau golongannya dan kondisi ini (political corruption) dan sekiranya anggaran tersebut dilaksanakan akan menimbulkan administration corruption.
Apabila kondisi diatas terjadi, maka proses penyusunan anggaran yang semestinya akan menghasilkan outcome yang efisien dan efektif dari alokasi sumber daya dalam anggaran akan terdistorsi karena adanya perilaku opportunistik untuk kepentingan pribadi dari politisi (Halim dan Syukriy, 2009).

Johnson (194: 5) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilh kembali, birokrat ingin memaksimumkan angaranya, dan konstiuen ingin memaksimumkan utiltasnya. Agar terpilh kembali, legislators mencari program dan projects yang membuatnya populer di mata konstiuen. Birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstiuen percaya bahwa mereka menerima benefits dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya secara penuh.

Dalam hal pembuatan kebijakan, Von Hagen (202) berpendapat bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilh dan legislatif pada dasarnya menunjukan bagaimana voters memilh politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam angaran, maka mereka diharapkan mewakil kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilhnya. Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubunganya dengan publik menunjukan bahwa legislatif memilki masalah keagenan karena akan berusaha untuk memaksimalkan utiltasnya (self-interest) dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika publik tidak memilki sarana atau instiusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehinga perilaku moral hazard legislatif dapat erjadi dengan mudah.
Menurut Hagen (205), politsi yang terpilh bisa saja berlaku oportunistik dan karenanya voters berkeinginan menghilangkan peluang untuk mendapat rents dengan membuat politsi terikat pada suatu aturan yang menentukan apa yang dapat atau harus mereka lakukan pada kondisi tertentu. Akan tetapi, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas (unforesen development) dan kompleskitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna tidak mungkin dibuat. Politisi juga tidak akan dapat memenuhi semua janji yang dibuatnya selama kampanye pemilhan. Oleh karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang lain, hubungan keagenan antara pemilh (voters) dengan politsi dapat dipandang sebagai incomplete contract.
Dalam hal hubungan keagenan dalam penyusunan Angaran Daerah, Angaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanan pelayanan publik. Di Indonesia dokumen angaran daerah disebut angaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan angaran pasca UU 2/199 (dan UU 32/204) melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau panita angaran.
Sebelum penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang arah dan kebijakan umum (AKU) dan prioritas angaran, yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan angaran pendapatan dan angaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan AKU dan prioritas angaran, yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanan angaran oleh eksekutif. Proses penyusunan angaran (APBD) diawali dari rencana pelayanan yang akan diberikan oleh pemerintah daerah. Pemilhan pelayanan (dalam bentuk kegiatan) direncanakan secara bersama-sama dengan inisiatif terbesar ada di pihak eksekutif. Eksekutif kemudian mengalokasikan angaran untuk setiap kegiatan, program, dan prioritas angaran. Rangkuman usulan kegiatan dan angaranya ini kemudian disamapaikan kepada legislatif untuk dibahas terlebih dahulu sebelum disahkan menjadi peraturan daerah (Perda).
Realisasi perilaku oportunistik eksekutif dalam pengusulan belanja ini diantaranya adalah: 
1. Mengusulkan kegiatan yang sesunguhnya tidak menjadi prioritas.
2. Mengusulkan kegiatan yang memilki lucrative oportunites (peluang untuk
mendapatkan keuntungan pribadi) yang besar.
3. Mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting dalam suatu kegiatan. 
4. Mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk komponen belanja dan angaran setiap kegiatan.
5. Memperbesar angaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya.

Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi pada dua posisi, yakni sebagai prinsipal dan juga sebagai agen. Sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat merealisasikan kepentinganya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun instiusional. Melalui discretionary power yang dimilkinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif. 

TEORI KONTIJENSI

Teori kontijensi menyatakan bahwa tidak ada rancangan dan penggunaan sistem pengendalian manajemen yang dapat diterapkan secara efektif untuk semua kondisi organisasi, namun sebuah sistem pengendalian tertentu hanya efektif untuk situasi atau organisasi atau perusahaan tertentu. Kesesuaian antara sistem pengendalian manajemen dan variabel konstektual organisasi dihipotesiskan untuk menyimpulkan peningkatan kinerja organisasi dan individu yang terlibat didalamnya (Otley 1980; Fisher 1998 dalam Adrianto, 2008).

Fisher (1995) dalam Ratri (2010) berpendapat bahwa pendekatan kontijensi ini mengungkapkan bahwa perencanaan dan penggunaan desain sistem pengendalian manajemen tergantung pada karakteristik organisasi dan kondisi lingkungan di mana sistem tersebut ditetapkan. Penelitian-penelitian yang menguji hubungan antara partisipasi penyusunan anggaran dengan kinerja aparat pemerintah daerah memberikan hasil yang tidak konsisten. Untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut, Govindarajan (1986) dalam (Azhar L et al., 2009) mengemukakan bahwa diperlukan suatu pendekatan kontinjensi (contingency approach). Pendekatan ini memberikan suatu gagasan bahwa sifat hubungan yang ada dalam partisipasi penyusunan anggaran dengan kinerja aparat pemda mungkin berbeda dari satu situasi dengan situasi lain.

Peneltian ini menggunakan faktor kontijensi untuk mengevaluasi keefektifan partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja aparatur pemerintah daerah. Faktor kontijensi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi. Faktor-faktor tersebut akan bertindak sebagai variabel modereting dalam hubungannya dengan partisipasi penyusunan anggaran dan kinerja aparatur pemerintah daerah.

Minggu, 27 Desember 2015

AUDIT OPERASIONAL

Pengertian Audit Operasional

Ada beberapa pengertian mengenai audit operasional menurut para ahli. Menurut Amin Widjaja Tunggal (2008), “Audit operasional merupakan audit atas operasi yang dilaksanakan dari sudut pandang manajemen untuk menilai ekonomi, efisiensi, dan efektifitas dari setiap dan seluruh operasi, terbatas hanya pada keinginan manajemen”. Menurut Bayangkara I.B.K (2013:2) adalah sebagai berikut :
“Rancangan secara sistemastis untuk mengaudit aktivitas-aktivitas, program-program, yang diselenggarakan, atau sebagian dari entitas yang bias diaudit untuk menilai dan melaporkan apakah sumber daya dan dana telah digunakan secara efisien, serta apakah tujuan dari program dan aktivitas yang telah direncanakan dapat tercapai dan tidak melanggar ketentuan aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan perusahaan.

Menurut Tunggal (2000:10), “pemeriksaan operasional merupakan suatu penilaian dari organisasi manajerial dan efisiensi dari suatu perasahaan, departemen, atau setiap entitas dan sub entitas yang dapat di audit”. Sedangkan General Accounting Office (GAO) di Amerika Serikat mendefinisikan pemeriksaan operasional sebagai auditing yang menentukan : 1) Apakah entitas mengelola dan menggunakan sumber dayanya (seperti personil,kekayaan, ruangan) secara ekonomis dan efisien 2) Penyebab dari ketidakefektivan atau praktik yang tidak ekonomis, dan 3) Apakah entitas telah menaati hukum dan peraturan yang berhubungan dengan masalah ekonomis dan efisiensi.

Menurut Guy dkk. (2003:419) : Audit operasional merupakan penelaahan atas prosedur dan metode operasi entitas untuk menentukan tingkat efisiensi dan efektivitasnya. Pada kesimpulan tentang audit operasional, rekomendasi yang umumnya diberikan adalah memperbaiki prosedur. Audit operasional kadang-kadang disebut sebagai audit kinerja, audit manajemen, atau audit komprehensif. Secara international, istilah yang sering digunakan untuk audit operasional adalah audit nilai uang (value- for- money auditing)

Di samping itu, dalam bukunya, Boynton, Johnson, & Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, P.A., Gania, G., & Budi, I.S. (2003) menyatakan “Audit operasional adalah suatu proses sistematis yang mengevaluasi efektifitas, efisiensi, dan kehematan operasi organisasi yang berada dalam pengendalian manajemen serta melaporkan kepada orang-orang yang tepat hasil-hasil evaluasi tersebut beserta rekomendasi perbaikan” 

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Audit Operasional yaitu suatu proses sistematis untuk menilai kegiatan operasional perusahaan apakah sudah dilakukan secara efektif, efisien, dan ekonomis serta memberikan rekomendasi perbaikan kepada pihak manajemen sehingga keberlangsungan kegiatan perusahaan dapat berjalan dengan baik.

Struktur dan Ruang Lingkup Audit Operasional 

Menurut Guy dkk. (2003:421), struktur umum dari audit operasional adalah proses lima tahap yaitu : 
1. Pengenalan Sebelum memulai suatu audit operasional, auditor (atau konsultan) terlebih dahulu harus mengenali kegiatan atau fungsi yang sedang di audit. Untuk melaksanakan hal ini, auditor menelaah latar belakang informasi, tujuan, struktur organisasi, dan pengendalian kegiatan atau fungsi yang sedang di audit, serta menentukan hubungannya dengan entitas secara keseluruhan.
2. Survei Selama tahap survei dari audit operasional, yang lebih dikenal sebagai survei pendahuluan (preliminary survey), auditor harus berusaha untuk mengidentifikasi bidang masalah dan bidang penting yang menjadi kunci keberhasilan kegiatan atau fungsi yang sedang di audit.
3. Pengembangan Program Pada awalnya auditor menyusun program pekerjaan, berdasarkan tujuan audit, yang merinci pengujian dan analisis yang harus dilaksanakan atas bidang-bidang yang dianggap "penting" dari hasil survei pendahuluan. Disamping itu, auditor juga menjadwalkan kegiatan kerja, menugaskan personel yang sesuai, menentukan keterlibatan personel lainnya dalam penugasan, serta menelaah kertas kerja audit.
4. Pelaksanaan Audit Pelaksanaan audit merupakan tahap utama dari audit operasional. Auditor melaksanakan prosedur audit yang telah ditentukan dalam program audit untuk mengumpulkan bukti-bukti, melakukan analisis, menarik kesimpulan, dan mengembangkan rekomendasi. Selama melakukan pekerjaan lapangan, auditor harus menyelesaikan setiap langkah audit yang spesifik dan mencapai tujuan audit secara keseluruhan untuk mengukur efektivitas, efisiensi, dan ekonomis.
5. Pelaporan Tahap pelaporan merupakan tahap yang penting bagi keberhasilan keseluruhan audit operasional yang dilakukan. Laporan audit operasional pada umumnya mengandung dua unsur utama, yaitu (1) tujuan penugasan, ruang lingkup, dan pendekatan serta, (2) temuan-temuan khusus dan rekomendasi. Ruang lingkup audit operasional lebih difokuskan pada fungsi produksi suatu perusahaan yang berarti melakukan pemeriksaan segi operasional suatu perusahaan. 

Ruang lingkup audit keuangan tradisional lebih ditekankan pada accounting control yang terdiri dari : 
1. Mengamankan perusahaan 
2. Menguji ketelitian dan kebenaran data akuntansi.

Cara yang digunakan untuk mencapai tujuan di atas, yaitu dengan menggunakan laporan keuangan. Sedangkan audit operasional bertujuan untuk mengetahui apakah cara-cara yang digunakan dalam perusahaan sudah berjalan dengan lancar. 

Jadi, audit operasional lebih ditekankan pada administrative control yang terdiri dari : 
1. Menunjang efektivitas perusahaan 
2. Menilai ketaatan pada kebijakan yang telah digariskan oleh pimpinan. 

Persamaan dari keduanya adalah auditor sama-sama melakukan perbandingan antara standar atau kriteria tertentu dengan melaksanakan yang ditemuinya. 

Ruang lingkup audit operasional menurut Mulyadi (2002:428) adalah :
“Pembatasan terhadap ruang lingkup audit operasional, mempunyai akibat terhadap jumlah dan kompetensi bukti yang dapat dikumpulkan oleh auditor dari suatu perusahaan”. 

Jadi, disimpulkan bahwa ruang lingkup audit operasional adalah tinjauan kebijakan operasinya, perencanaan, praktik (kinerja), hasil dari kegiatan dalam mencapai tujuan perusahaan. Oleh karena itu, audit dilakukan tidak terbatas hanya pada masalah akuntansinya saja, melainkan di segala bidang yang berhubungan dengan perusahan seperti kepegawaian

Tujuan Dan Manfaat Audit Operasional 

Tujuan utama audit operasional adalah mengevaluasi efektifitas dan efisiensi organisasi, namun audit operasional juga dapat menjangkau aspek yang ketiga, yaitu ekonomisasi. Evaluasi ekonomi adalah pemeriksaan atas biaya dan manfaat dari suatu kebijakan atau prosedur. Dalam konteks audit operasional, evaluasi ekonomi merupakan pertimbangan jangka panjang tentang apakah manfaat kebijakan atau prosedur lebih besar daripada biayanya. 

Menurut Guy dkk. (2003:421), audit operasional biasanya dirancang untuk memenuhi satu atau lebih tujuan berikut :
1) Menilai Kinerja. Setiap audit operasional meliputi penilaian kinerja organisasi yang ditelaah. Penilaian kinerja dilakukan dengan membandingkan kegiatan organisasi dengan (1) tujuan, seperti kebijakan, standar, dan sasaran organisasi yang ditetapkan manajemen atau pihak yang menugaskan, serta dengan (2) kriteria penilaian lain yang sesuai.
2) Mengidentifikasi Peluang Perbaikan. Peningkatan efektivitas, efisiensi, dan ekonomi merupakan kategori yang luas dari pengklasifikasian sebagian besar perbaikan. Auditor dapat mengidentifikasi peluang perbaikan tertentu dengan mewawancari individu (apakah dari dalam atau dari luar organisasi), mengobservasi operasi, menelaah laporan masa lalu atau masa berjalan, mempelajari transaksi, membandingkan dengan standar industri, menggunakan pertimbangan profesional berdasarkan pengalaman, atau menggunakan sarana dan cara lain yang sesuai.
3) Mengembangkan Rekomendasi untuk Perbaikan atau Tindakan Lebih Lanjut.Sifat dan luas rekomendasi akan berkembang secara beragam selama pelaksanaan audit operasional.

Menurut Agoes, S. (2008:173) ada empat tujuan audit operasional yaitu:
1. Untuk menilai kinerja (performance) dari manajemen dan berbagai fungsi dalam perusahaan.
2. Untuk menilai apakah persediaan perusahaan telah digunakan secara efisien dan ekonomis.
3. Untuk menilai efektifitas perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh manajemen puncak.
4. Untuk memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada manajemen puncak untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam penerapan sistem pengendalian internal dan prosedur operasional perusahaan dalam rangka meningkatkan efisiensi, keekonomisan dan efektifitas dari kegiatan operasionaal perusahaan. 

Sejalan dengan perkembangan perusahaan, manajemen akan dihadapkan dengan berbagai masalah dalam memonitor semua dearah kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa apabila manajemen ingin dapat beroperasi dengan baik tentu mereka memerlukan berbagai bentuk peringatan dini (early warning system) yang dapat mendeteksi berbagai masalah yang merugikan dan berbagai kesempatan untuk pengembangan dan penyempurnaan. Salah satu cara yang digunakan oleh para manajer tersebut adalah dengan menggunakan audit operasional.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa audit operasional dilakukan untuk mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas pelaksanaan aktivitas suatu organisasi. Audit operasional mengidentifikasi timbulnya penyelewengan dan penyimpangan yang terjadi dan kemudian membuat laporan yang berisi rekomendasi tindakan perbaikan selanjutnya. Audit operasional merupakan salah  satu alat pengendalian yang membantu dalam mengelola perusahaan dengan penggunaan sumber daya yang ada dalam pencapaian tujuan perusahaan dengan efektif dan efisien. 

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya audit operasional menurut Tunggal (2000:14) adalah: 
1) Memberi informasi operasi yang relevan dan tepat waktu untuk pengambilankeputusan
2) Membantu manajemen dalam mengevaluasi catatan, laporan-laporan dan pengendalian.
3) Memastikan ketaatan terhadap kebijakan manajerial yang ditetapkan, rencana-rencana, prosedur serta persyaratan peraturan pemerintah. 
4) Mengidentifikasi area masalah potensial pada tahap dini untuk menentukan tindakan preventif yang akan diambil.
5) Menilai ekonomisasi dan efisiensi penggunaan sumber daya termasuk memperkecil pemborosan.
6) Menilai efektivitas dalam mencapai tujuan dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan.
7) Menyediakan tempat pelatihan untuk personil dalam seluruh fase operasi perusahaan.

Jenis Audit Operasional 

Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan Jusuf A.A pada buku 2 (2003), membagi audit operasional menjadi tiga jenis yaitu : “1.Functional Audit 2. Organizational Audit 3. Special Assigment.” Dari kutipan diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Functional Audit Fungsi merupakan suatu alat penggolangan kegiatan suatu perusahaan, seperti fungsi penerimaan kas atau fungsi produksi. Seperti yang tersirat dalam namanya, audit fungsional berkaitan dengan sebuah fungsi atau lebih dalam suatu organisasi. Keunggulan audit fungsional adalah menungkinkan adanya spesialisasi oleh auditor. Auditor dapat lebih efisien memakai seluruh waktu mereka untuk memeriksa dalam bidang itu. Kekurangan audit fungsional adalah tidak dapat dievaluasinya fungsi yang saling berkaitan didalam organisasi.
2. Organizational Audit Audit operasional atas suatu organisasi menyangkut keseluruhan unit organisasi, seperti departemen, cabang, atau anak perusahaan. Penekanan dalam suatu audit organisasi adalah seberapa efisien dan efektif fungsi-fungsi yang saling berinteraksi.
3. Special Assigment Penugasan audit operasional khusus timbul atas permintaan manajemen. Ada banyak variasi dalam audit seperti itu. Contoh-contohnya mencakup penentuan penyebab tidak efektifnya system PDE, penyelidikan kemungkinan kecurangan dalam suatu divisi, dan membuat rekomendasi untuk mengurangi biaya produksi suatu barang.

Kriteria Audit Operasional 

Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam audit operasional adalah menentukan kriteria untuk mengevaluasi apakan efisiensi dan efektivitas telah tercapai. Di dalam audit keuangan, Standar Akuntansi Keuangan merupakan kriteria umum untuk mengevaluasi kewajaran penyajian laporan keuangan, dalam audit operasional tidak ada kriteria standar yang dapat digunakan sebagai pedoman. 

Menurut Arens et al (2008:781), ada beberapa sumber kriteria yang dapat digunakan : 
1. Kinerja Historis (Historical Performance) Historical Performance merupakan kriteria yang didasarkan pada hasil aktual dari periode (atau audit) sebelumnya. Hal ini dilaksanakan untuk membandingkan apakah prestai kerja periode sekarang lebih baik atau lebih buruk dibandingkan dengan prestasi kerja periode sebelumnya. Keuntungan penggunaan kriteria ini adalah tidak dapat memberikan gambaran apakah perusahaan tersebut benar-benar berjalan dengan baik atau sebaliknya.
2. Kinerja yang dapat diperbandingkan (Benchmarking) Benchmarking merupakan kriteria yang ditetapkan berdasarkan hasil yang dicapai oleh entitas yang sama dalam organisasi secara keseluruhan atau diluar organisasi. Data prestasi dari entitas dibandingkan merupakan sumber yang baik untuk kriteria dalam benchmarking.
3. Standar Rekayasa (Engineered Standards) Engineerd Standards merupakan kriteria yang ditetapkan berdasarkan standar teknik, seperti time and motion study untuk menentukan banyaknya output yang harus diproduksi. Penggunaan krteria ini efektif untuk menyelesaikan berbagai masalah operasional yang penting, tetapi pembuatan kriteria ini memerlukan keahlian yang khusus sehingga memakan banyak waktu dan biaya yang cukup tinggi.
4. Diskusi dan Kesepakatan (Discussion and Agreement) Discussion and Agreementmerupakan kriteria yang ditetapkan berdasarkan hasil diskusi dan kesepakatan bersama antara pihak manajemen dan entitas yang akan diaudit, auditor operasional, dan pihak yang akan menerima laporan hasil audit operasional. Kriteria ini umum digunakan karena pembuatan kriteria yang lalu sering kali sulit dan membutuhkan biaya yang tinggi.

Struktur dan Ruang Lingkup Audit Operasional 

Menurut Guy dkk. (2003:421), struktur umum dari audit operasional adalah proses lima tahap yaitu :
1) Pengenalan Sebelum memulai suatu audit operasional, auditor (atau konsultan) terlebih dahulu harus mengenali kegiatan atau fungsi yang sedang di audit. Untuk melaksanakan hal ini, auditor menelaah latar belakang informasi, tujuan, struktur organisasi, dan pengendalian kegiatan atau fungsi yang sedang di audit, serta menentukan hubungannya dengan entitas secara keseluruhan.
2) Survei Selama tahap survei dari audit operasional, yang lebih dikenal sebagai survei pendahuluan (preliminary survey), auditor harus berusaha untuk mengidentifikasi bidang masalah dan bidang penting yang menjadi kunci keberhasilan kegiatan atau fungsi yang sedang di audit. 
3) Pengembangan Program. Pada awalnya auditor menyusun program pekerjaan, berdasarkan tujuan audit, yang merinci pengujian dan analisis yang harus dilaksanakan atas bidang-bidang yang dianggap "penting" dari hasil survei pendahuluan. Disamping itu, auditor juga menjadwalkan kegiatan kerja, menugaskan personel yang sesuai, menentukan keterlibatan personel lainnya dalam penugasan, serta menelaah kertas kerja audit.
4) Pelaksanaan Audit Pelaksanaan audit merupakan tahap utama dari audit operasional. Auditor melaksanakan prosedur audit yang telah ditentukan dalam program audit untuk mengumpulkan bukti-bukti, melakukan analisis, menarik kesimpulan, dan mengembangkan rekomendasi. Selama melakukan pekerjaan lapangan, auditor harus menyelesaikan setiap langkah audit yang spesifik dan mencapai tujuan audit secara keseluruhan untuk mengukur efektivitas, efisiensi, dan ekonomis.
5) Pelaporan Tahap pelaporan merupakan tahap yang penting bagi keberhasilan keseluruhan audit operasional yang dilakukan. Laporan audit operasional pada umumnya mengandung dua unsur utama, yaitu (1) tujuan penugasan, ruang lingkup, dan pendekatan, serta (2) temuan- temuan khusus dan rekomendasi.

Ruang lingkup audit operasional lebih difokuskan pada fungsi produksi suatu perusahaan yang berarti melakukan pemeriksaan segi operasional suatu perusahaan. Namun dalam hal ini suatu perusahaan mengalami keterbatasan dalam melaksanakan audit operasional tersebut. Keterbatasan yang terjadi dalam suatu perusahaan dalam melaksanakan audit operasional antara lain Tunggal (2000:11): 
1) Waktu Pemeriksa harus memberikan laporan kepada pihak manajemen sesegera mungkin agar masalah yang timbul dapat segera terselesaikan, sehingga menyebabkan terbatasnya waktu pemeriksaan. Untuk mengatasi keterbatasan waktu ini, audit operasional dapat dilakukan secara teratur untuk menghindari permasalahan tidak menjadi berlarut-larut. 
2) Keahlian
Kurangnya pengetahuan dan penguasaan berbagai disiplin ilmu dan bisnis merupakan salah satu keterbatasan. Tidak mungkin seorang pemeriksa dapat menjadi ahli dalam berbagai disiplin bisnis. 3) Biaya Biaya yang dapat dihemat dari hasil pemeriksaan haruslah lebih besar dari biaya pemeriksaan itu sendiri. Pemeriksaan harus menentukan prioritas tertentu dalam melaksanakan tugasnya sehingga keterbatasan ini dapat teratasi.

Tahap-Tahap Audit Operasional 

Auditor operasional perlu memiliki suatu tahapan tugas untuk pedoman baginya dalam bekerja. Tanpa adanya tahapan yang tersusun baik pemeriksa akan banyak menghadapai kesulitan dalam melaksanakan pekerjaan mengingat bahwa struktur perusahaan ataupun kegiatan sekarang ini sudah semakin maju dan rumit. 

Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam audit manajemen. Secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi lima, menurut Bayangkara I.B.K (2008:10) yaitu:
1. Audit Pendahuluan Audit pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan informasi latar belakang terhadap objek yang diaudit. Pada tahap audit ini juga dilakukan penelaahan terhadap berbagai peraturan, ketentuan dan kebijakan berkaitan dengan aktivitas yang diaudit serta menganalisis berbagai informasi yang telah diperoleh untuk mengidentifikasi hal-hal yang potensial mengandung kelemahan pada perusahaan yang diaudit.
2. Review dan Pengujian Pengendalian Manajemen Pada tahap ini auditor melakukan review dan pengujian terhadap pengendalian manajemen objek audit dengan tujuan untuk menilai efektivitas pengendalian manajemen dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan.
3. Audit Rinci / Lanjutan Pada tahap ini auditor melakukan pengumpulan bukti yang cukup dan kompeten untuk mendukung tujuan audit yang telah ditentukan. Pada tahap ini juga dilakukan pengembangan temuan untuk mencari keterkaitan antara satu temuan dengan temuan yang lain dalam menguji permasalahan yang berkaitan dengan tujuan audit.
4. Pelaporan Tahapan ini bertujuan untuk mengkomunikasikan hasil audit termasuk rekomendasi yang diberikan kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Hal ini penting untuk meyakinkan pihak manajemen (objek audit) tentang keabsahan hasil audit dan mendorong pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan perbaikan terhadap berbagai kelemahan yang ditemukan.
5. Tindak Lanjut Sebagai tahap akhir dari audit manajemen, tindak lanjut bertujuan untuk mendorong pihak-pihak yang berwenang untuk melaksanakan tindak lanjut (perbaikan) sesuai dengan rekomendasi yang diberikan



Efisisensi dan Efektivitas Audit Operasional 

Efisiensi dan efektivitas audit operasional dikenal sebagai audit yang berkonsentrasi pada efektivitas dan efisiensi organisasi. Efektivitas mengukur seberapa berhasil suatu organisasi mencapai tujuan dan sasarannya. Efisiensi mengukur seberapa baik suatu entitas menggunakan sumberdayanya dalam mencapai tujuannya. Sebagai contoh, seorang auditor dapat memeriksa badan federal untuk menentukan apakah badan tersebut telah mencapai tujuannya seperti yang ditetapkan oleh kongres (efektivitas) dan menggunakan sumberdaya keuangannya secara benar (efisiensi). Pembahasan mengenai ekonomisasi, efisiensi, dan efektivitas akan lebih mudah dipahami jika dibahas dalam kerangka Input - Proses - Output. Dalam sub bab ini, lebih difokuskan pada efisiensi dan efektivitas. 
1) Efisiensi 
Efisiensi berhubungan dengan bagaimana perusahaan melakukan operasinya, sehingga dicapai optimalisasi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Efisiensi berhubungan dengan metode kerja (operasi). Dalam hubungannya dengan konsep input-proses-output, efisiensi adalah rasio antar output dan input. Seberapa besar output yang dihasilkan dengan menggunakan sejumlah tertentu input yang dimiliki perusahaan. Metode kerja yang baik akan dapat memandu proses operasi berjalan dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki perusahaan. Jadi, efisiensi merupakan ukuran proses yang menghubungkan antara input dan output dalam operasional perusahaan. Jadi, efisiensi merupakan ukuran proses yang menghubungkan antara input dan output dalam operasional perusahaan (Bayangkara, 2008:13). 
Menurut Anthony (2005:174): Efisiensi adalah rasio output terhadap input, atau jumlah output per unit input. Pusat Tanggung Jawab A lebih efisien daripada Pusat Tanggung Jawab B jika (1) menggunakan jumlah sumber daya yang lebih sedikit dari pada Pusat Tanggung Jawab B, namun memproduksi jumlah output yang sama, atau (2) menggunakan jumlah sumber daya yang sama namun memproduksi jumlah output yang lebih besar.

2) Efektivitas Dibandingkan dengan efisiensi, yang ditentukan oleh hubungan antara input dan output, efektivitas ditentukan oleh huungan antara output yang dihasilkan oleh suatu pusat tanggang jawab dengan tujuannya. Semakin besar output yang dikonstribusikan terhadap tujuan, maka semakin efektiflah unit tersebut. Efektivitas cenderung dinyatakan dalam istilah-istilah yang subjektif dan nonalitis, seperti kinerja kampus A adalah yang terbaik, tetapi kampus B telah agak menurun dalam tahun-tahun terakhir (Anthony, 2005:174). 
Menurut (Anthony 2005:174-175): Efisiensi dan efektivitas berkaitan satu sama lain, setiap pusat tanggung jawab harus efektif dan efisien dimana organisasi harus mencapai tujuannya dengan cara yang optimal. Suatu pusat tanggung jawab yang menjalankan tugasnya dengan konsumsi terendah atas sumber daya, mungkin akan efisien, tetapi jika output yang dihasilkannya gagal dalam memberikan kontribusi yang memadai pada pencapaian cita-cita organisasi, maka pusat tanggung jawab tersebut tidaklah efektif.

Keterbatasan Audit Operasional 

Meskipun audit operasional memiliki banyak manfaat, audit ini juga memiliki banyak keterbatasan. Menurut Reider (2002:31)audit operasional memiliki banyak keterbatasan karena tidak dapat menyelesaikna semua masalah yang timbul didalam organisasi. Ada tiga factor yang membatasi audit operasional yaitu : 
1. Waktu 
2. Keahlian yang diperlukan 
3. Biaya 

Waktu merupakan faktor yang membatasi audit operasional untuk mencapai tujuan dan manfaat audit operasional. Hal ini disebkan karena auditor harus dengan segera memberikan informasi kepada manajemen mengenai masalah  organisasi yang timbul dan cara-cara yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Audit operasional harus dilaksanakan secara teratur untuk menjamin bahwa masalah-masalah organisasi yang penting tidak menjado kronis dalam perusahaan. 

Keterbatasan dalam audit operasional yang lain adalah kurangnya keahlian audit operasinal terhadap teknik audit dan objek yang diperiksa. Tidak mungkin bagi seorang auditor untuk ahli disegala bidang bisnis. Untuk mengatasi keterbatasan ini perlu pendidikan dan pelatihan bagi auditor operasional. 

Biaya juga merupakan salah satu faktor pembatas bagi audit operasional. Auditor operasional selalu mencoba untuk menghemat uang kliennnya.Keterbatasan biaya yang tersedia ini mengharuskan auditor untuk menentukan segala prioritas auditnya. Masalah organisasi yang mengancam keeradaan organisasi perlu mendapatkan prioritas audit



Sabtu, 26 Desember 2015

PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK

Konsep Pengelolan Keuangan Negara

Landasan yuridis dari pengelolan keuangan negara adalah Pasal 23 C Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dalam perubahan ketiga dimana hal-hal lain mengenai keuangan negara ditetapkan melalui undang-undang. Berangkat dari landasan konstiual itulah sehinga pada tahun 2003 yang lalu lahir Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, diundangkan aturan tersebut dan berlaku untuk pengelolan Keuangan Negara.

Menurut Angito Abimanyu (2005 ; 15) definisi dari pengelolan keuangan negara adalah :
Keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanan, pelaksanan, penatausahan, pelaporan, pertangungjawaban dan pengawasan keuangan Negara Pengelolan keuangan negara yang diatur dalam Undang- Undang No. 17 Tahun 2003  meliputi kekuasan pengelolan keuangan negara dan daerah. Sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan umum Undang-Undang No. 17 Tahun 2003. Pengelolan keuangan negara terdapat angaran-angaran yang digunakan sebagai alat akuntabiltas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai fungsi akunta-biltas pengeluaran angaran hendaknya dapat dipertangungjawabkan dengan menunjukan hasil (result) berupa outcome atau setidaknya output yang dibelanjakanya dana-dana publik tersebut. Sebagai alat manajemen sistem pengangaran selayaknya dapat membantu aktivitas berkelanjutan untuk memperbaiki efektivitas dan efesiensi program pemerintah. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi angaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabiltas perekonomian serta pemeratan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.

Langkah awal dalam pengelolaan keuangan negara dimulai dengan perencanan atau penyusunan angaran pendapatan belanja negara (APBN). APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelengaran pemerintahan dan kemampuan pendapatan negara. Penyusunan APBN sebagaimana dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. Terkait dengan fungsi Angaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan Undang-Undang No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara adalah: (Sampurna, 2005 ; 45)
1. Sebagai fungsi akuntabiltas, pengeluaran angaran hendaknya dapat dipertangungjawabkan dengan menunjukan hasil (result) berupa outcome atau setidaknya output dari dibelanjakanya dana-dana publik tersebut.
2. Sebagai alat manajemen, sistem pengangaran selayaknya dapat membantu aktivitas berkelanjutan untuk memperbaiki efektifitas dan efisiensi program pemerintah.
3. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, angaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabiltas perekonomian serta pemeratan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. 

Adanya reformasi dalam perundang-undangan tersebut telah dirumuskan
landasan hukum yang kuat dengan telah disahkanya Undang Undang Dasar Negara
RI Tahun 1945. Pengaturan hukum tersebut diantaranya sebagai berikut: (Sampurna, 2005 ; 39)
a. Undang-Undang No. 17 Tahun 203 tentang Keuangan Negara.
b. Undang-Undang No. 1 Tahun 204 tentang Perbendaharan Negara.
c. Undang-Undang No. 15 Tahun 204 tentang Pemeriksan Pengelolan dan Tangung Jawab Keuangan Negara.
d. Undang-Undang No. 15 Tahun 206 tentang Badan Pemeriksan Keuangan Negara.

Dengan adanya paket perundang-undangan tentang keuangan negara tersebut telah merumuskan empat prinsip dasar pengelolan keuangan negara sebagai pencerminan dari best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolan keuangan negara antara lain, yaitu:
1. Akuntabiltas berdasarkan hasil atau kinerja.
Mengandung makna bahwa setiap rupiah uang negara yang dikeluarkan harus dapat dipertangung jawabkan kepada publik dan dalam pengalokasianya harus menghasilkan sesuatu yang bermanfat pada publik.
2. Keterbukan dalam setiap transaksi pemerintah.
Pengelolan keuangan negara harus bersifat terbuka (transparan) sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pengelolan keuangan negara dimana mewajibkan adanya keterbukan dalam pembahasan, penetapan dan perhitungan angaran serta hasil atas hasil pengawasan oleh lembaga audit yang indipenden.
3. Pemberdayan manajer profesional
Mengharuskan pengelolan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang profesional dan mampu mengalokasikan angaran yang dilaksanakan secara proporsional terhadap fungsi-fungsi kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin yang dicapai.
4. Adanya lembaga pemeriksan eksternal yang kuat, profesional dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanan.

Dalam hal ini pemeriksan atas tangung jawab dan pengelolan keuangan negara atau daerah dilakukan oleh badan pemeriksa yang independen, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DPR R.I dan pengawasan oleh masyarakat

Sistem Pengelolan Keuangan Negara

Dalam sistem pengelolan keuangan dikuasakan kepada Presiden selaku Kepala Pemerintahan yang memegang kekuasan pengelolan keuangan negara. Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2003. Kekuasan tersebut meliputi: (Saidi, 2008 ; 56)
a. Kewenangan yang bersifat umum
Kewenangan yang bersifat umum meliputi :
1) Penetapan arah.
2) Kebijakan umum.
3) Strategi.
4) Prioritas dalam pengelolan Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
b. Kewenangan yang bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi :
1) Keputusan/kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolan APBN yang antara lain berkaitan dengan keputusan sidang kabinet di bidang pengelolan APBN, keputusan rincian APBN,
2) Keputusan dana perimbangan.
3) Penghapusan aset dan piutang negara

Dalam rangka memenuhi kewajiban konstiusional yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan sebagai upaya menghilangkan penyimpangan terhadap keuangan negara, maka sistem dalam pengelolan keuangan negara diwujudkan dengan:
a. Sistem pengelolan keuangan negara yang berkesinambungan (sustainable).
Dalam siklus sistem pengelolan keuangan negara yang berkesinambungan harus adanya perencanan dan dalam paket undang-undang di bidang Keuangan Negara memberikan suatu sistem pengangaran yang mampu menstimulasi manajemen birokrasi agar mengacu pada prinsip efektivitas, efisiensi alokasi angaran sektor publik, terjalinya keterbukan dan akuntabiltas pemerintahan, dan melakukan penghematan keuangan Negara tanpa melalaikan prinsip-prinsip profesionalitas maka pengelolan keuangan Negara dengan mengunakan sistematika angaran berbasis kinerja. 
b. Sistem pengelolan keuangan negara yang profesional.
Mengharuskan pengelolan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang profesional. Asas Proporsionalitas pengalokasian angaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsi-fungsi kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin dicapai.
c. Sistem pengelolan keuangan negara yang terbuka.
Memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasar pertimbangan, bahwa masyarakat memilki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertangungjawaban pemerintah dalam pengelolan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan keta tanya pada peraturan perundang- undangan. d. Sistem pengelolan keuangan negara yang bertangung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang dan asas-asas umum yang berlaku secara universal.

Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum dan menyelengarakan pemerintahan negara berdasarkan konstiusi, sistem pengelolan keuangan negara harus didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.