Sabtu, 02 Januari 2016

TEORI KEAGENAN

Teori keagenan (agency theory) awalnya dikemukakan oleh Berle dan Means (1932) yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976) yaitu adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (principal) dengan pihak yang menerima wewenang (agent) dalam bentuk kontrak kerja (nexus of contract) yang telah disepakati (Pagalung, 2008). 

Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). 

Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memilki dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain. Pengaruh atau ketergantungan ini diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur instiusional pada berbagai tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak. Menurut Lane (2000) teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen (Lane, 2000: 12-13).

Dalam hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif adalah agen dan legislatif adalah prinsipal (Halim, 202). Seperti dikemukakan sebelumnya, diantara prinsipal dan agen senantiasa terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan.

Lebih lanjut Pagalung (2008) dalam Ardiyanti memaparkan bahwa hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif (pemerintah) adalah agent dan legislatif (para wakil rakyat yang duduk di parlemen) adalah principal. Sebelum penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang arah dan kebijakan umum serta prioritas anggaran, yang akan menjadi pedoman dalam penyusunan APBD. Eksekutif membuat rancangan APBD yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (perda). Dalam perspektif keagenan hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract) yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.

Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif. Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintahan daerah dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang baik tentang birokrasi dan administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena pihak eksekutif (agent) memiliki informasi keuangan daripada pihak principal (keunggulan informasi) sedangkan dari pihak principal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (selft-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power).

Masalah keagenan yang timbul di kalangan eksekutif adalah cenderung memaksimalkan utility (selft-interest) dalam pembuatan atau penyusunan anggaran APBD karena memiliki keunggulan informasi (asimetri informasi). Akibatnya eksekutif cenderung melakukan “budgetary slack”. Hal ini terjadi dikarenakan pihak eksekutif akan mengamankan posisinya dalam pemerintahan di mata legislatif dan masyarakat (rakyat), bahkan boleh jadi untuk kepentingan pilkada berikutnya.
Masalah keagenan yang timbul dikalangan legislatif (anggota dewan) terjadi dari dua tinjauan perspektif, sebagai principal atas eksekutif dan sebagai agent dengan rakyat (pemilih). Masalah keagenan yang timbul dalam perspektif principal akan cenderung melakukan “kontrak semu” dengan pihak eksekutif karena memiliki discretionary power.
  Dalam proses penyusunan anggaran, pihak legislatif cenderung melakukan “titipan” proyek/kegiatan, hal ini terjadi untuk kepentingan pribadi secara jangka panjang demi menjaga kesinambungan dan mengharumkan nama politis (anggota dewan) karena anggaran yang diperjuangkan adalah cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat. Akibatnya pembangunan cenderung di daerah wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif.
Dalam perspektif anggota legislatif sebagai agent, dan rakyat sebagai principal, dimana sebelum pilkada pihak eksekutif aktif melakukn pendekatan kepada masyarakat untuk membangun citra diri yang baik agar menang dalam pemilu legislatif. Pihak legislatif melakukan berbagai macam pendekatan baik itu persuasif, pendekatan formal konvensional, kampanye secara langsung dengan penuh keyakinan akan membela kepentingan masyarakat dan senantiasa  mengemban amanah rakyat dengan tujuan untuk memperoleh suara dari masyarakat sebagai principal, namun apa yang terjadi setelah terpilih sebagai wakil rakyat dan duduk di lembaga legislatif mereka tidak lagi mementingkan kepentingan principal karena pendelegasian kewenangan rakyat terhadap legislatornya tidak memiliki kejelasan aturan konsekuensi control keputusan yang disebut “abdication”. Akibatnya legislator cenderung menyusun anggaran untuk kepentingan pribadi atau golongannya dan kondisi ini (political corruption) dan sekiranya anggaran tersebut dilaksanakan akan menimbulkan administration corruption.
Apabila kondisi diatas terjadi, maka proses penyusunan anggaran yang semestinya akan menghasilkan outcome yang efisien dan efektif dari alokasi sumber daya dalam anggaran akan terdistorsi karena adanya perilaku opportunistik untuk kepentingan pribadi dari politisi (Halim dan Syukriy, 2009).

Johnson (194: 5) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilh kembali, birokrat ingin memaksimumkan angaranya, dan konstiuen ingin memaksimumkan utiltasnya. Agar terpilh kembali, legislators mencari program dan projects yang membuatnya populer di mata konstiuen. Birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstiuen percaya bahwa mereka menerima benefits dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya secara penuh.

Dalam hal pembuatan kebijakan, Von Hagen (202) berpendapat bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilh dan legislatif pada dasarnya menunjukan bagaimana voters memilh politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam angaran, maka mereka diharapkan mewakil kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilhnya. Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubunganya dengan publik menunjukan bahwa legislatif memilki masalah keagenan karena akan berusaha untuk memaksimalkan utiltasnya (self-interest) dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika publik tidak memilki sarana atau instiusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehinga perilaku moral hazard legislatif dapat erjadi dengan mudah.
Menurut Hagen (205), politsi yang terpilh bisa saja berlaku oportunistik dan karenanya voters berkeinginan menghilangkan peluang untuk mendapat rents dengan membuat politsi terikat pada suatu aturan yang menentukan apa yang dapat atau harus mereka lakukan pada kondisi tertentu. Akan tetapi, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas (unforesen development) dan kompleskitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna tidak mungkin dibuat. Politisi juga tidak akan dapat memenuhi semua janji yang dibuatnya selama kampanye pemilhan. Oleh karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang lain, hubungan keagenan antara pemilh (voters) dengan politsi dapat dipandang sebagai incomplete contract.
Dalam hal hubungan keagenan dalam penyusunan Angaran Daerah, Angaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanan pelayanan publik. Di Indonesia dokumen angaran daerah disebut angaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan angaran pasca UU 2/199 (dan UU 32/204) melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau panita angaran.
Sebelum penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang arah dan kebijakan umum (AKU) dan prioritas angaran, yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan angaran pendapatan dan angaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan AKU dan prioritas angaran, yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanan angaran oleh eksekutif. Proses penyusunan angaran (APBD) diawali dari rencana pelayanan yang akan diberikan oleh pemerintah daerah. Pemilhan pelayanan (dalam bentuk kegiatan) direncanakan secara bersama-sama dengan inisiatif terbesar ada di pihak eksekutif. Eksekutif kemudian mengalokasikan angaran untuk setiap kegiatan, program, dan prioritas angaran. Rangkuman usulan kegiatan dan angaranya ini kemudian disamapaikan kepada legislatif untuk dibahas terlebih dahulu sebelum disahkan menjadi peraturan daerah (Perda).
Realisasi perilaku oportunistik eksekutif dalam pengusulan belanja ini diantaranya adalah: 
1. Mengusulkan kegiatan yang sesunguhnya tidak menjadi prioritas.
2. Mengusulkan kegiatan yang memilki lucrative oportunites (peluang untuk
mendapatkan keuntungan pribadi) yang besar.
3. Mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting dalam suatu kegiatan. 
4. Mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk komponen belanja dan angaran setiap kegiatan.
5. Memperbesar angaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya.

Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi pada dua posisi, yakni sebagai prinsipal dan juga sebagai agen. Sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat merealisasikan kepentinganya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun instiusional. Melalui discretionary power yang dimilkinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar